Dan
kagetnya, sebab tihang rumah kerbau sudah tergenang air. Begitu juga seluruh
persawahan, seujung mata melihat seperti lautan.
Citarum
airnya sudah meluap, sudah tidak
terlihat pinggir-pinggir sungainya, airnya sudah mengalir deras sekali,
suaranya yang ketir.
“Astaga,
taubat Pangeran! Kerbau pada kemana?” kata Si Dirun, berbicara sendiri sambil
bergetar karena kaget.
Ketika
melihat ke sisi Citarum, tidak menyangka kalau kerbau sudah berkumpul di
pinggiran sungai, di tempat yang agak atas serta kakinya sudah tergenang air
sampai lututnya.
Dengan
cepat Si Dirun turun dari ranggon, ingin menggiringkan kerbaunya ke tempat lain
yang lebih atas. Sebab disisi sungai takut airnya akan semakin membesar dan
sudah pasti akan membawa hanyut kerbaunya. Tetapi ketika masuk sungai, ternyata
dalam airnya sudah sampai dada, serta kekuatannya yang tarik untuk menyedot.
“
Beu, Bagaimana caranya? Kalau terus jalan di sungai, takut menginjak yang
dalam, sudah pasti aku tenggelam,” piker
Si Dirun. “ Kalau didiamkan terus, kerbau takut terbawa hanyut air
sungai yang besar.”
Ketika
sedang berpikir untuk melakukan sesuatu, terlihat tiga gebong pisang yang
hanyut. Dengan cepat dia membawa ketiganya, kemudian dia mengikatnya menjadikan
sebuah rakit. Ketika sudah terikat kuat dia menaikinya, dikayuh dengan
tangannya, menuju pinggiran sungai dimana kerbaunya berada.
Ketika
akan sampai di pinggiran sungai, tiba-tiba air sungai mebawa hanyut rakitnya ke
hilir, sudah tidak bisa dikayuh tangan, sebab kalah dengan air sungai yang
sangat kuat. Ditambah dia sudah lesu, lelah karena terus mendayuh.
Semakin
lama Si Dirun hanyut semakin menengah saja, serta semakin jauh ke hilir, sama
seperti perahu yang didayuh.
Ketika
Si Dirun melihat ke barat, kerbaunya sudah tidak terlihat satupun. Perkiraannya
sudah terbawa hanyut, begitu juga dengan ranggon tempat dia neduh, cumin
terlihat atapnya saja.
“
Beu apa sekarang gue akan mati,” pikirannya, “ tidak ada jalan selamat kalau
begini sareatnya. Malah seperti ini rasanya penderitaan.”
Penderitaannya
membuat dia menangis, sesambat ke bapak-ibunya, “ Duh ibu, bapak, tolong aku!
Taubat Tuhan Yang Maha Sui !”
Hanyutnya
kebetulan melewati perkampungan yang agak dekat. Si Dirun teriak dengan
kerasnya minta bantuan. Tetapi tidak ada satupun yang mendengarnya, ditambah
hujan yang lebat, serta warga juga dalam kesusahannya, sebab kampunya juga sama
terkena bencana.
Karena
terlalu kelelahan, akhirnya dia tengkurap diatas rakit tersebut sambil
memejamkan mata. Didalam hatinya tidak
ada harapan selamat, Cuma menunggu datangnya malaikat maut. “Eh, Cuma sampai
saat ini aku melihat alam dunia. Pileuleuyan alam dunia!” kata Si Dirun dalam
pikirannya.
Hari
semakin gelap, tanda akan malam. Ditambah hujan yang tidak berhenti, malah
semakin membesar, seperti akan kiamat. Begitu juga dengan air sungai yang
semakin besar, serta rakit yang semakin terbawa hanyut.
Kira-kira
pukul delapan malam, hujan mulai mengecil. Semakin lama semakin mengecil dan
akhirnya hujanpun berhenti.
Karena
sudah pegal terlentang, Si Dirun akhirnya bangun. Dia sangat kaget begitu
melihat seluruh yang ada disekelilingnya, sudah gela. “ Apakah gue sudah mati,
kenapa gelap gulita?” pikirnya.
Ketika
melihat ke langit, dia melihat bintang bertebaran, terlihat mengedip seperti
mentertawakan, sebab ada anak yang mengharapkan datangnya malaikat maut.
“
Ih ternyata gue tuh belum mati,” bicaranya. “ Gue masih hidup, buktinya terbawa
hanyut sungai yang begitu jauh serta lama. Badan gue terasa beku, tetapi masih
utuh, cuman kedinginan.”
Sesudah
punya pikiran seperti itu, datang lagi harapan ingin selamat. Kemudian dia
sesambat kepada ibu dan bapaknya serta meminta kepada Yang Maha Kuasa supaya
cepat mendapat pertolongan dari- Nya.
SELAMAT
Semalaman
Si Dirun mengapung di rakit yang terbawa hanyut air sungai sampai ke muara
Citarum, terus terbawa sampai ke tengah laut.
Pagi-pagi
setelah meletek srangenge, Si Dirun kaget sekali sebab sudah berada di laut,
serta agak jauh dari daratan, “ Masya Allah, apakah gue lagi mimpi, kenapa
sudah berada di laut? Eh kalau begini kejadiannya seperti samar bisa selamat,”
kata Si Dirun bicara sendiri. “ Tetapi, Allah Yang Maha Kuasa tidak
pilih-pilih, jika akan menolong kepada makhluk yang lagi kesusahan, selalu ada
jalannya.”
Itu
ingatan Si Dirun benar sekali, buktinya kira-kira waktu pagi menjelang siang,
dia melihat perahu layar lapat-lapat dari kejauhan. Perkiraannya perahu nelayan
yang akan pulang dan akan menghampiri dia. Dengan cepat Si Dirun membuka bajunya, kemudian melemparkan sambil
memanggil minta tolong. Tidak lama perahu tersebut menghampirinya. Ketika sudah
dekat, Si Dirun dilemparkan tambang. Dengan cepat dia menangka ujung tambang
tersebut. Sesuda begitu, ditarik tambang tersebut oleh nelayan. Ketika sudah
menempel pada perahu, Si Dirun terus diangkat ke perahu. Alhamdulillah sekarang
selamat, kata hatinya.
“
Eh, makasih, atas kemurahan hati bapak sudah menolong saya,” kata Si Dirun, bicaranya
terpotong-potong serta mengigil.
“
Bukan begitu, bagaimana sebabnya kamu bisa mengapung di rakit di tengah laut?”
kata nelayan ke Si Dirun.
Kemudian
Si Dirun menerangkan penyebab dia semalaman hanyut terbawa air sungai,
sebab ingin menolong kerbau gembalaannya.
Nelayan
tersebut sangat mengasihi kepada Si Dirun, bicaranya, “ Eh, sangat kasihan kami
ke kamu tuh. Tetapi kami menyesal tidak bisamengantarkan ke kampung kamu.
Sekarang bagaimana kedepannya? Dimana kamu mau turun? Nanti kami turunkan.”
“
Eh, Pak,” kata Si Dirun kepada nelayan , “ tidak tahu dimana, karean saya tidak
tau harus dimana turunnya. Terserah kasih dari Pak saja. Tidak tau jalan dan
tidak bisa pulang sendiri, sebab begitu jauh pulang ke kampung.”
“
Ya kalau begitu lebih baik ikut sama Pak saja,” kata Nelayan yang aling tua. “
Sebab kamu tidak tahu jalan pulang, serta Pak juga tidak bisa mengantar kamu ke
kampungmu.”
Si
Dirun begitu senang mendengar bicara nelayan tersebut, sebab kata pikirannya, “
Jika gue bisa pulang ke kampung, tidak ada gunanya, malah tambah penderitaan
dan kesengsaraan saja.”
Nelayan
tersebut bersasal dari Pulo Kapal. Yang menjadi juragan atau paling tua namanya
Pak Lihun, umurnya kira-kira lima ppuluh tahun. Badannya kecil tapi kekar.
Bicaranya lucu dan sifatnya begitu ramah.
Di
Perahu tersebut sedang ngeliwet di tungku.
Si
Dirun terus menghangatkan badan, sambil menunggu liwet tersebut.
“
Mungkin kamu sudah lapar ya?” kata Pa Lihun. “ Silahkan gelekkan apinya,
masuk-masukin kayu bakarnya supaya cepat masak.”
Tidak
lama liwet sudah matang, terus dituangkan pada wadah. Sesudah begitu, arang
bekas ngeliwet tadi digunakan untuk membakar ikan, yaitu ikan tuna dan kembung.
Selagi
membulak-balik ikan bakar, Si Dirun sudah kelaparan sambil menelan ludah.
Matanya sesekali melihat pada ikan bakar, sesekali melihat ke nasi liwet.
“
Sabar, nak, sebentar lagi juga matang, belum garing,” kata Pa Lihun sambil
tertawa. “ Angin-angin saja dulu menggunakan kipas!”
“
Ini kelihatannya sudah matang, terlihat agak gosong,” kata Si Dirun yang tidak
sabar, ingin cepat mengambil ikan.
“
Is belum matang, itu cuman gosong karena kulitnya terbakar,” kata Pa Lihun,
nanti kalau sudah matang, terus di bumbui sama kecap. Ini kecapnya!”
Sesudah
matang, ikan pun diberi kecap. Setelah ditaburi kecap, bau harum ikan bakar pun
menyebar. Hidung Si Dirun terlihat mengembang bahagia.
Setelah
itu, nelayan akhirnya pada makan, terlihat sangat menikmati. Terlebih Si Dirunyang sangat kelaparan. Karena sehari
semalam tidak makan nasi.
Sesudah
makan, Si Dirun terus duduk menyandar pada tihang layar sambil melihat laut.
Dia sangat suka melihat ombak kecil seperti sedang kejar-kejaran.
Sebab
Si Dirun tidak tidur semalaman, saat itu ketiduran sampai tidur dengan
nyenyaknya. Sorenya Si Dirun baru bangun, itu juga dibangunkan Pa Lihun, sebab
saat itu sudah sampai di Pulo Kapal.
“
Dimana ini, Pak?’ kata Si Dirun sambil mengusap mata.
“
Ih, ini kan kampung Bapak yang dinamakan Pulo Kapal.” Kata Pa Lihun.
Si
Dirun berdiri ingin turun ke darat, tetapi ketika akan melangkahtiba-tiba
terjatuh, kemudian tergeletak sambil memegang kepala.
“
Kamu kenapa nak?’ kata Pa Lihun yang kaget.
“
Aduh, Pak, saya pusing dan juga nyeri badan,” kata Si Dirun sambil menangis.
Si
Dirun terus digendong sama Pa Lihun, dibawa ke rumahnya.
“
Anak dari mana itu?” kata istri Pa Lihun semu kaget.
“
Anak yatim, ketemu di tengah laut dekat muara Citarum,” jawab Pa Lihun.
“
Ketemu di laut? Kenapa bisa ada di laut?”
“
Katanya terbawa air sungai ketika mau menggiringkan kerbau gembalaannya.”
“
Eh, kasihan sekali!” kata Ibu Lihun.
***
Pa
Lihun tersebut di Pulo Kapalnya terbilang orang cukup kaya. Sebab kehidupannya
bukan sekedar nelayan, tetapi sambil menyewakan beberapa perahu. Lebih dari itu
Pa Lihun mempunyai ratusan pohon kelapa, yang hasilnya itu bukan sedikit.