Yogi Saputra M

Yogi Saputra M
Izayoi Kuroshitsuji

Selasa, 05 Agustus 2014

Kemahiran Bahasa Sunda

Dan kagetnya, sebab tihang rumah kerbau sudah tergenang air. Begitu juga seluruh persawahan, seujung mata melihat seperti lautan.
Citarum airnya sudah  meluap, sudah tidak terlihat pinggir-pinggir sungainya, airnya sudah mengalir deras sekali, suaranya yang ketir.
“Astaga, taubat Pangeran! Kerbau pada kemana?” kata Si Dirun, berbicara sendiri sambil bergetar karena kaget.
Ketika melihat ke sisi Citarum, tidak menyangka kalau kerbau sudah berkumpul di pinggiran sungai, di tempat yang agak atas serta kakinya sudah tergenang air sampai lututnya.
Dengan cepat Si Dirun turun dari ranggon, ingin menggiringkan kerbaunya ke tempat lain yang lebih atas. Sebab disisi sungai takut airnya akan semakin membesar dan sudah pasti akan membawa hanyut kerbaunya. Tetapi ketika masuk sungai, ternyata dalam airnya sudah sampai dada, serta kekuatannya yang tarik untuk menyedot.
“ Beu, Bagaimana caranya? Kalau terus jalan di sungai, takut menginjak yang dalam, sudah pasti aku tenggelam,” piker  Si Dirun. “ Kalau didiamkan terus, kerbau takut terbawa hanyut air sungai yang besar.”
Ketika sedang berpikir untuk melakukan sesuatu, terlihat tiga gebong pisang yang hanyut. Dengan cepat dia membawa ketiganya, kemudian dia mengikatnya menjadikan sebuah rakit. Ketika sudah terikat kuat dia menaikinya, dikayuh dengan tangannya, menuju pinggiran sungai dimana kerbaunya berada.
Ketika akan sampai di pinggiran sungai, tiba-tiba air sungai mebawa hanyut rakitnya ke hilir, sudah tidak bisa dikayuh tangan, sebab kalah dengan air sungai yang sangat kuat. Ditambah dia sudah lesu, lelah karena terus mendayuh.
Semakin lama Si Dirun hanyut semakin menengah saja, serta semakin jauh ke hilir, sama seperti perahu yang didayuh.
Ketika Si Dirun melihat ke barat, kerbaunya sudah tidak terlihat satupun. Perkiraannya sudah terbawa hanyut, begitu juga dengan ranggon tempat dia neduh, cumin terlihat atapnya saja.
“ Beu apa sekarang gue akan mati,” pikirannya, “ tidak ada jalan selamat kalau begini sareatnya. Malah seperti ini rasanya penderitaan.”
Penderitaannya membuat dia menangis, sesambat ke bapak-ibunya, “ Duh ibu, bapak, tolong aku! Taubat Tuhan Yang Maha Sui !”
Hanyutnya  kebetulan melewati perkampungan  yang agak dekat. Si Dirun teriak dengan kerasnya minta bantuan. Tetapi tidak ada satupun yang mendengarnya, ditambah hujan yang lebat, serta warga juga dalam kesusahannya, sebab kampunya juga sama terkena bencana.
Karena terlalu kelelahan, akhirnya dia tengkurap diatas rakit tersebut sambil memejamkan mata. Didalam hatinya  tidak ada harapan selamat, Cuma menunggu datangnya malaikat maut. “Eh, Cuma sampai saat ini aku melihat alam dunia. Pileuleuyan alam dunia!” kata Si Dirun dalam pikirannya.
Hari semakin gelap, tanda akan malam. Ditambah hujan yang tidak berhenti, malah semakin membesar, seperti akan kiamat. Begitu juga dengan air sungai yang semakin besar, serta rakit yang semakin terbawa hanyut.
Kira-kira pukul delapan malam, hujan mulai mengecil. Semakin lama semakin mengecil dan akhirnya hujanpun berhenti.
Karena sudah pegal terlentang, Si Dirun akhirnya bangun. Dia sangat kaget begitu melihat seluruh yang ada disekelilingnya, sudah gela. “ Apakah gue sudah mati, kenapa gelap gulita?” pikirnya.
Ketika melihat ke langit, dia melihat bintang bertebaran, terlihat mengedip seperti mentertawakan, sebab ada anak yang mengharapkan datangnya malaikat maut.
“ Ih ternyata gue tuh belum mati,” bicaranya. “ Gue masih hidup, buktinya terbawa hanyut sungai yang begitu jauh serta lama. Badan gue terasa beku, tetapi masih utuh, cuman kedinginan.”
Sesudah punya pikiran seperti itu, datang lagi harapan ingin selamat. Kemudian dia sesambat kepada ibu dan bapaknya serta meminta kepada Yang Maha Kuasa supaya cepat mendapat pertolongan dari- Nya.



SELAMAT

Semalaman Si Dirun mengapung di rakit yang terbawa hanyut air sungai sampai ke muara Citarum, terus terbawa sampai ke tengah laut.
Pagi-pagi setelah meletek srangenge, Si Dirun kaget sekali sebab sudah berada di laut, serta agak jauh dari daratan, “ Masya Allah, apakah gue lagi mimpi, kenapa sudah berada di laut? Eh kalau begini kejadiannya seperti samar bisa selamat,” kata Si Dirun bicara sendiri. “ Tetapi, Allah Yang Maha Kuasa tidak pilih-pilih, jika akan menolong kepada makhluk yang lagi kesusahan, selalu ada jalannya.”
Itu ingatan Si Dirun benar sekali, buktinya kira-kira waktu pagi menjelang siang, dia melihat perahu layar lapat-lapat dari kejauhan. Perkiraannya perahu nelayan yang akan pulang dan akan menghampiri dia. Dengan cepat Si Dirun membuka  bajunya, kemudian melemparkan sambil memanggil minta tolong. Tidak lama perahu tersebut menghampirinya. Ketika sudah dekat, Si Dirun dilemparkan tambang. Dengan cepat dia menangka ujung tambang tersebut. Sesuda begitu, ditarik tambang tersebut oleh nelayan. Ketika sudah menempel pada perahu, Si Dirun terus diangkat ke perahu. Alhamdulillah sekarang selamat, kata hatinya.
“ Eh, makasih, atas kemurahan hati bapak sudah menolong  saya,” kata Si Dirun, bicaranya terpotong-potong serta mengigil.
“ Bukan begitu, bagaimana sebabnya kamu bisa mengapung di rakit di tengah laut?” kata nelayan ke Si Dirun.
Kemudian  Si Dirun menerangkan penyebab  dia semalaman hanyut terbawa air sungai, sebab ingin menolong kerbau gembalaannya.
Nelayan tersebut sangat mengasihi kepada Si Dirun, bicaranya, “ Eh, sangat kasihan kami ke kamu tuh. Tetapi kami menyesal tidak bisamengantarkan ke kampung kamu. Sekarang bagaimana kedepannya? Dimana kamu mau turun? Nanti kami turunkan.”
“ Eh, Pak,” kata Si Dirun kepada nelayan , “ tidak tahu dimana, karean saya tidak tau harus dimana turunnya. Terserah kasih dari Pak saja. Tidak tau jalan dan tidak bisa pulang sendiri, sebab begitu jauh pulang ke kampung.”
“ Ya kalau begitu lebih baik ikut sama Pak saja,” kata Nelayan yang aling tua. “ Sebab kamu tidak tahu jalan pulang, serta Pak juga tidak bisa mengantar kamu ke kampungmu.”
Si Dirun begitu senang mendengar bicara nelayan tersebut, sebab kata pikirannya, “ Jika gue bisa pulang ke kampung, tidak ada gunanya, malah tambah penderitaan dan kesengsaraan saja.”
Nelayan tersebut bersasal dari Pulo Kapal. Yang menjadi juragan atau paling tua namanya Pak Lihun, umurnya kira-kira lima ppuluh tahun. Badannya kecil tapi kekar. Bicaranya lucu dan sifatnya begitu ramah.
Di Perahu tersebut sedang ngeliwet di tungku.
Si Dirun terus menghangatkan badan, sambil menunggu liwet tersebut.
“ Mungkin kamu sudah lapar ya?” kata Pa Lihun. “ Silahkan gelekkan apinya, masuk-masukin kayu bakarnya supaya cepat masak.”
Tidak lama liwet sudah matang, terus dituangkan pada wadah. Sesudah begitu, arang bekas ngeliwet tadi digunakan untuk membakar ikan, yaitu ikan tuna dan kembung.
Selagi membulak-balik ikan bakar, Si Dirun sudah kelaparan sambil menelan ludah. Matanya sesekali melihat pada ikan bakar, sesekali melihat ke nasi liwet.
“ Sabar, nak, sebentar lagi juga matang, belum garing,” kata Pa Lihun sambil tertawa. “ Angin-angin saja dulu menggunakan kipas!”
“ Ini kelihatannya sudah matang, terlihat agak gosong,” kata Si Dirun yang tidak sabar, ingin cepat mengambil ikan.
“ Is belum matang, itu cuman gosong karena kulitnya terbakar,” kata Pa Lihun, nanti kalau sudah matang, terus di bumbui sama kecap. Ini kecapnya!”
Sesudah matang, ikan pun diberi kecap. Setelah ditaburi kecap, bau harum ikan bakar pun menyebar. Hidung Si Dirun terlihat mengembang bahagia.
Setelah itu, nelayan akhirnya pada makan, terlihat sangat menikmati. Terlebih  Si Dirunyang sangat kelaparan. Karena sehari semalam tidak makan nasi.
Sesudah makan, Si Dirun terus duduk menyandar pada tihang layar sambil melihat laut. Dia sangat suka melihat ombak kecil seperti sedang kejar-kejaran.
Sebab Si Dirun tidak tidur semalaman, saat itu ketiduran sampai tidur dengan nyenyaknya. Sorenya Si Dirun baru bangun, itu juga dibangunkan Pa Lihun, sebab saat itu sudah sampai di Pulo Kapal.
“ Dimana ini, Pak?’ kata Si Dirun sambil mengusap mata.
“ Ih, ini kan kampung Bapak yang dinamakan Pulo Kapal.” Kata Pa Lihun.
Si Dirun berdiri ingin turun ke darat, tetapi ketika akan melangkahtiba-tiba terjatuh, kemudian tergeletak sambil memegang kepala.
“ Kamu kenapa nak?’ kata Pa Lihun yang kaget.
“ Aduh, Pak, saya pusing dan juga nyeri badan,” kata Si Dirun sambil menangis.
Si Dirun terus digendong sama Pa Lihun, dibawa ke rumahnya.
“ Anak dari mana itu?” kata istri Pa Lihun semu kaget.
“ Anak yatim, ketemu di tengah laut dekat muara Citarum,” jawab Pa Lihun.
“ Ketemu di laut? Kenapa bisa ada di laut?”
“ Katanya terbawa air sungai ketika mau menggiringkan kerbau gembalaannya.”
“ Eh, kasihan sekali!” kata Ibu Lihun.

***

Pa Lihun tersebut di Pulo Kapalnya terbilang orang cukup kaya. Sebab kehidupannya bukan sekedar nelayan, tetapi sambil menyewakan beberapa perahu. Lebih dari itu Pa Lihun mempunyai ratusan pohon kelapa, yang hasilnya itu bukan sedikit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar